Suatu siang sebagian pekerja pergi di kedai minum terdekat sedangkan yg lain masih berada di wilayah gedung untuk makan siang yg lazimnya agak berantakan. Kegiatan rutin yg menjadi pemandangan di kala jam makan siang. Sepertinya begitu banyak topik yg dibicarakan ketika mereka menyantap makan siangnya, dan seringkali mereka bicara politik.

Aku minum segelas susu dan menyantap sepotong roti di suatu tempat yg agak jauh. Dan dengan hati-hati mempelajari perusahaan baruku atau memandangi kawan-kawanku yg “menyedihkan” itu. Akibatnya, aku mendengar lebih dari cukup; dan kerapkali tampak bagiku bahwa mereka dengan sengaja bergerak mendekat ke arahku, mungkin untuk membuatku mengambil posisi. Betapa pun apa yg aku dengar adalah suatu sifat yg membuatku sangat marah. Orang-orang ini menolak semua: sebuah bangsa sebagai temuan dari kelas-kelas “kapitalistik” (betapa seringnya dengan terpaksa aku mendengar satu kata ini !!!); tanah kelahiran sebagai instrumen kaum borjuis untuk pengeksploitasian kaum pekerja; wewenang hukum sebagai alat untuk menindas kaum proletariat; sekolah sebagai lembaga pembibitan budak dan pemilik budak; agama dibuat sebagai alat untuk melemahkan orang-orang dan membuat mereka lebih mudah untuk dieksploitasi; moralitas sebagai gejala kebodohan, kesabaran seperti domba, dan sebagainya. Benar-benar tak ada yg bisa ditarik dari kedalaman lumpur yg menakutkan ini.

Awalny aku mencoba untuk diam . tetapi akhirnya sikap ini tidak mungkin. Aku mulai mengambil posisi dan menghadapi mereka. Tetapi aku dipaksa untuk mengakui bahwa ini tidak akan membuahkan hasil kecuali aku memiliki pengetahuan pasti tentang masalah-masalah yg kontroversial ini. Sehingga aku mulai mencari sumber-sumber dari mana mereka mendapatkan kebijakan ini. Aku mulai mempelajari buku demi buku, literatur demi literatur.

Kemudain diskusi-diskusi kami di tempat kerja seringkali memanas. Aku memberikan argumen-argumen balik. Dari hari ke hari sepertinya aku lebih tahu ketimbang lawan-lawanku mengenai pengetahuan mereka sendiri. Sampai suatu hair mereka menggunakan senjata yg siap menaklukan semua alasan : teror dan kekerasan. Beberapa juru bicara dari pihak lawan memaksaku meninggalkan tempat saat itu juga atau “melemparkanku ke luar”. Karena aku “sendirian” dan pertahananku tampak sia-sia, aku lebih suka diperkaya dengan satu pengalaman lagi, mengikuti paksaan pertama.

Aku melangkahkan kaki dengan perasaan dongkol, tetapi pada saat yg sama begitu teragitasi bahwa akan tidak sangat baik bagiku untuk memalingkan punggung pada semua urusan. Tetapi setelah gelombang kemarahan, sifat keras kepalaku membuatku mengepalkan tangan. Aku bertekad untuk kerja di tempat lain, mengesampingkan semua pengalamanku itu. Dalam keputusanku itu aku dihadapkan lagi dengan bayangan akan kemiskinan, kisah tua yg sama mulai membayang lagi dan berakhir dengan sanagat sama seperti kisah sebelumnya.

Aku memekik pada jiwa terdalamku; apakah orang-orang yg disebut manusia ini, pantas untuk dimiliki oleh sebuah bangsa yg besar ?

Sebuah pertanyaan yg menyakitkan; karena jika dipahami dengan penuh keyakinan, perjuanganku akan kebangsaanku benar-benar menjadi sulit dan pengorbanan terbaik harus kita berikan pada sampah ini. Sebaliknya jika dijawab dengan negatif, berarti bangsa kita sangat miskin umat manusia.

Pada hari-hari refleksi dan pemikiran itu, aku dipenuhi oleh masalah-masalah yg mencemaskan tentang masa-masa yg tidak dimiliki oleh masyarakat dan melihat mereka menyerupai ekspresi para serdadu di medan laga.